BAKLAK.NEWS, MANADO – Kasus dugaan surat palsu berupa Akte Jual Beli (AJB) yang melibatkan Eng Mona (73) dan Linda Nangoi (51), para terdakwa meminta pembebasan dari dakwaan dan tuntutan hukum melalui nota pembelaan yang dibacakan oleh penasihat hukum mereka, Steven Gugu, pada Selasa 23 Juli 2024, di Pengadilan Negeri (PN) Manado.
Steven Gugu menyampaikan permohonan agar majelis hakim membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum karena mereka tidak terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan. Ia juga meminta agar nama baik dan derajat para terdakwa dipulihkan. “Kami mengajukan permohonan penangguhan tahanan dengan alasan psikologis dan kesehatan para terdakwa, serta perlindungan terhadap perempuan,” kata Gugu.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Indrawan setelah mendengar pembelaan tersebut, bertanya kepada para terdakwa apakah ada hal lain yang ingin disampaikan. Kedua terdakwa, Linda Nangoi dan Eng Mona, menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tambahan keterangan selain yang telah disampaikan oleh penasihat hukum mereka.
Sidang akan dilanjutkan pada Kamis 25 Juli 2024 dengan agenda tanggapan tertulis dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pembelaan yang telah diajukan.
Pada sidang sebelumnya para terdakwa, Linda Nangoi dan Eng Mona, dituntut dengan pidana penjara berbeda oleh JPU Mudeng Sumaila. Terdakwa Linda Nangoi dituntut 3 tahun penjara, sementara Terdakwa Eng Mona dituntut 1 tahun penjara. Mereka dianggap JPU bersalah atas penggunaan surat yang tidak sejati atau palsu, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.
Dakwaan JPU
Kasus ini melibatkan konflik keluarga, di mana para terdakwa diduga menyebabkan kerugian kepada Deitje Mona dan tiga saudaranya, Kim Mona, Fredy Mona, dan Leng Toan Lian, yang merupakan ahli waris dari almarhumah Lidya Lim.
Kasus mencuat ke permukaan ketika terdakwa Linda Nangoi, yang diketahui sebagai anak kandung dari terdakwa Eng Mona, bermula ketika terdakwa Linda Nangoi membuat surat akta otentik palsu dengan memberi keterangan palsu kepada PPATS Camat, yang menghasilkan dokumen palsu berupa akta jual beli tahun 1989. Selanjutnya, terdakwa Linda Nangoi juga membuat sertifikat pada tahun 1992 atas nama dirinya sendiri atas sebidang tanah di Ratatotok Satu, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra).
Perbuatan itu baru terungkap pada tahun 2022, ketika Terdakwa Linda NangoiI, melaporkan tindak pidana penyerobotan dan penggelapan hak ke Polda Sulut. Para saksi korban, Deitje Mona dan saudara-saudaranya, yang merupakan ahli waris dari tanah tersebut, terkejut saat mengetahui bahwa terdakwa Linda Nangoi telah memperoleh dokumen-dokumen tanah.
Sebidang tanah ini sebelumnya dikuasai oleh ahli waris yang sah. Namun setelah kematian orang tua mereka, proses pembagian warisan belum dilakukan sepenuhnya. Berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, sertifikat atas nama Linda Nangoi dinyatakan batal dan dihukum untuk mencabut sertifikat tersebut.
Akibat perbuatan terdakwa, para saksi korban yang merupakan ahli waris dari tanah tersebut mengalami kerugian yang signifikan. Atas perbuatan ini, JPU menjatuhkan dakwaan alternatif kepada terdakwa, sesuai dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, Pasal 264 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan Pasal 264 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Kasus ini masih dalam proses penanganan lebih lanjut oleh pihak berwenang untuk memastikan keadilan bagi para korban dan penegakan hukum yang berlaku.