Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) adalah kawasan konservasi darat terbesar di Pulau Sulawesi. Letaknya di dua provinsi, yakni Sulawesi Utara dan Gorontalo, dengan luas kawasan 282.008,757. Taman Nasional ini adalah rumah bagi keanekaragaman hayati dan memiliki satwa yang endemik dan ikonik; babi rusa, anoa, dan atau maleo. Namun berbagai persoalan dihadapi oleh TNBNW. Salah satunya adalah perburuan satwa liar untuk diperdagangkan dan dikonsumsi dengan resiko penyakit zoonotik yang bisa menular kepada manusia di masa depan.
Hingga pertengahan Oktober 2023, kemarau panjang belum memiliki tanda kapan berakhir. Namun seorang petani berbaju lengan panjang, bercelana pendek, dengan rambutnya yang sudah beruban, masih berharap hujan segera turun. Lahannya terus mengering dan belum bisa ditanami jagung. Kondisi ini pun berimbas ke hasil tangkapan sampingannya: satwa liar. Letaknya berdekatan dengan kawasan konservasi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).
“Karena musim kering, sudah jarang pasang dodeso,” ujarnya.
Dodeso adalah sebutan umum masyarakat di Sulawesi Utara yang bermakna jerat atau jebakan untuk menangkap hewan. Dodeso dipakai petani seperti dirinya dan juga para pemburu satwa liar lainnya di TNBNW. Selain biaya kecil, dodeso dapat menghindari intaian Polisi Hutan (Polhut) saat berpatroli; dibandingkan jika berburu menggunakan senjata yang dapat menimbulkan suara. Hanya bermodalkan tali, dibantu kayu yang kuat dan kepiawaian dalam merakit, ia bisa menangkap berbagai jenis satwa liar itu dengan jebakan buatannya.
Saya menemui petani ini di Kecamatan Dumoga Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Dengan alasan keamanan dan sering “kucing-kucingan”, petani tersebut tidak ingin namanya disebutkan.
Petani berusia 60an tahun ini bercerita, awalnya memasang dodeso hanya untuk menangkap babi hutan yang masuk ke area tanaman jagungnya. Babi hutan sendiri secara umum hidup berkelompok. Saat masuk ke ladang warga, pemimpin babi hutan bertugas merobohkan tanaman. Kelompok babi hutan kemudian dapat memakan jagung tanaman petani secara bersama-sama.
“Banyak yang meminta untuk dipasang dodeso di dekat perkebunan, karena babi hutan dan monyet mengganggu tanaman mereka,” ujarnya.
Petani ini mengaku sudah membuat dodeso sejak 30 tahun lalu, hingga akhirnya menjadi penghasilan samping yang menggiurkan, selain sebagai petani. Itu berarti hampir separuh dari hidupnya dihabiskan untuk menjerat satwa liar. Ia memasang jerat di area TNBNW. Bagi sebagian masyarakat di Bolmong, kawasan taman nasional itu disebut hutan lindung.
“Paling banyak yang saya dapat tujuh ekor, pernah mendapat babi seberat 60 kilogram,” katanya mengingat-ingat hasil tangkapannya.
Namun ternyata dodeso tidak pilih-pilih jenis satwa apa yang akan ditangkap. Dari hasil dodeso-nya, tak jarang ia sering mendapatkan buruan babirusa; satwa liar endemik Sulawesi dan dilindungi di Indonesia.
Ia mengetahui persis ciri-ciri babirusa, karena bertaring panjang, mencuat dan melengkung di atas mulut. Kebanyakan orang Bolmong menyebut babirusa sebagai babi utang, babi putih, atau babi budo.
“Kalau babi hutan lebih banyak rambutnya, sedangkan babi putih (babirusa) kurang rambut atau botak. Saya tahu itu babi putih (babirusa) dilindungi,” katanya mengakui.
Harga pasaran daging satwa liar di kawasan Dumoga sekitarnya atau dikenal dengan istilah “Dumoga Bersatu” dijual antara 35 ribu rupiah-40 ribu rupiah per kilogram. Namun harga ini akan lebih tinggi ketika dijual ke pasar. Meski telah puluhan tahun berburu sekaligus menjadi bertani, ia mengaku belum bisa menambah penghasilan dan kebutuhan hidup sehari-hari.
“Biasanya kalau dapat satu-dua ekor, hanya dijual di rumah. Kalau dapat lebih, dijual ke pengepul dekat rumah sini,” terangnya.
Pengakuan kurang lebih sama diungkapkan mantan pemburu yang kini telah menjadi abdi negara. Ia juga tak ingin namanya disebutkan karena masih mengonsumsi daging satwa liar hingga kini. Ketika masih menjadi pemburu, ia sering mencari satwa liar di TNBNW. Beberapa teknik dodeso menggunakan tali pernah ia lakukan. Tinggal memasang jerat, kemudian ditinggalkan.
“Harus rajin memantau dodeso karena rasa daging babi hutan akan pahit jika sudah mati lama,” ungkap mantan pemburu yang berdomisili dekat TNBNW itu.
Ia juga menyebut pemasangan jebakan tak hanya untuk mendapatkan babi hutan dan babirusa. Satwa liar endemik Sulawesi lainnya bisa masuk jeratan. Beberapa yang disebut dengan nama lokal adalah sapi utang (anoa) dan yaki atau wolai (monyet hitam Sulawesi). Selain itu, ia juga menangkap buruan lain seperti paniki (kelelawar), patola (ular piton) dan tikus hutan.
“Semuanya ada cara penangkapan dan waktunya. Harus sediakan tombak untuk membunuh, karena hewan-hewan yang terjerat dodeso akan menyerang,” bebernya.
Alasannya berburu satwa liar ketika itu karena kebutuhan ekonomi demi menghidupi keluarga. Pekerjaan sebelumnya sebagai buruh, tidak mampu menutup kebutuhan sehari-hari.
“Ketika masih menjadi pemburu, hasilnya bisa menutup kebutuhan dapur selama tiga minggu,” kenangnya.
Meski sudah tidak menangkap satwa liar selama bertahun-tahun, namun ia tetap masih mengonsumsi satwa liar hasil perburuan orang lain. Alasannya karena satwa liar memakan bahan alami dari hutan dibandingkan yang ternak.
“Kalau babi ternak sudah dicampur dengan pakan buatan pabrik,” katanya.
Ia punya pengalaman buruk ketika mengonsumsi paniki atau kelelawar di sebuah rumah makan di Kabupaten Minahasa. Kelelawar tersebut telah diberi formalin agar bisa bertahan lebih lama saat dijual. Dugaannya kelelawar yang telah diberi formalin itu berasal dari luar Sulawesi Utara karena telah menempuh perjalanan berhari-hari.
“Saat makan, tercium bau formalin dari daging paniki, saya langsung membuangnya. Saya heran mereka para penampung tega memasukkan formalin demi keuntungan lebih,” keluhnya.
Ketika disinggung mengenai zoonosis, mantan pemburu ini tidak mengetahui kalau ada bahaya zoonosis saat kontak langsung dengan satwa liar.
“Saya tidak tahu itu zoonosis, baru dengan namanya,” tuturnya.
Berdasarkan pantauan di salah satu pengepul di kawasan Dumoga Barat, babi hutan adalah salah satu satwa yang paling banyak dicari. Ketika didatangi, seorang pengepul mengaku kehabisan stok daging babi hutan maupun babirusa di lemari pendingin. Hanya dalam waktu dua jam, babi hutan telah habis, bahkan tak sempat didistribusikan ke pasar tradisional, karena dibeli warga sekitar. Puluhan kilogram daging satwa liar tersebut diperjualbelikan lewat media sosial.
“Daging-dagingnya sudah habis, Pak,” kata seorang pengepul perempuan.
Bahaya Penyakit Zoonotik
Perburuan dan perdagangan satwa liar untuk dikonsumsi dilakukan sejak puluhan tahun di kawasan TNBNW. Hingga saat ini telah terjadi penurunan populasi satwa liar yang diakibatkan aktivitas perburuan ini. Pekerjaan sampingan sebagai pemburu digeluti untuk menutupi kebutuhan ekonomi.
Mirisnya sebagian besar satwa liar tersebut adalah endemik Sulawesi dan keberadaanya kini masuk dalam kategori terancam punah.
Penggiat konservasi dan juga pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado, John Tasirin, bahwa keanekaragaman hayati di Sulawesi memiliki tingkat endemisitas tertinggi di dunia dan terkenal sebagai kawasan konservasi bio-ekologi yang sangat berharga.
Dari 165 jenis mamalia endemik Indonesia, 46% berada di Sulawesi. Lalu 62% dari 127 jenis mamalia Sulawesi adalah endemik. Daratan Sulawesi juga merupakan rumah bagi 84 dari 233 jenis burung endemik, mencakup lebih dari sepertiga dari total 256 jenis burung endemik Indonesia. Selain itu, 29 dari 104 jenis reptilia Sulawesi adalah endemik; menyumbang seperlima dari total 150 reptilia endemik Indonesia.
Menurutnya semenanjung utara Sulawesi, terutama tanah Minahasa, Totabuan, dan Gorontalo, menjadi area kunci dengan 86% dari 103 jenis burung endemik Sulawesi. Kawasan ini juga mendukung sebanyak 38 jenis tikus endemik Sulawesi, termasuk 45% di antaranya yang berada di semenanjung utara. Selain itu, 20 dari 24 jenis kelelawar buah endemik Sulawesi ditemukan di semenanjung utara, mencakup lebih dari 83% dari total jenis tersebut.
Penelitian Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) dilansir dari WHO.int menunjukkan bahwa enam dari sepuluh penyakit menular saat ini adalah zoonosis. Dengan tiga dari empat penyakit infeksi baru pada manusia bermula dari hewan. Jumlah penyakit yang ditularkan dari hewan terus meningkat, diperkirakan lebih dari 200 jenis zoonosis di seluruh dunia. Beberapa contoh meliputi flu, nipah, virus Hendra, rabies, malaria, leptospirosis, COVID-19, cacar monyet, dan sebagainya.
Virus nipah, misalnya, berpotensi menjadi pandemi di masa depan. Virus ini berasal dari kelelawar buah yang menularkan ke babi ternak, dan kelelawar menjadi reservoir alaminya. Meskipun tidak menyebabkan penyakit pada kelelawar, virus ini dapat menyebabkan sakit demam pada babi yang terinfeksi. Virus nipah dapat menular ke manusia melalui babi dan kelelawar, menyebabkan berbagai penyakit yang berpotensi serius.
Kepala Balai TNBNW Anis Suratin menjelaskan, pihaknya mengantisipasi virus nipah. Hingga kini virus nipah belum terdeteksi masuk ke Indonesia, termasuk TNBNW. Namun sekarang, TNBNW sedang menghadapi virus non zoonosis, yaitu African Swine Fever (ASF) atau demam babi afrika sejak Juli 2023.
“Sudah ada ASF terdeteksi positif di bangkai babi hutan sus celebensis awalnya ditemukan di Desa Pinogu, Gorontalo. Di Sulut sudah ada babi hutan positif ASF ditemukan di Desa Toraut, Bolmong, dekat TNBNW,” jelasnya.
Banyak faktor penyebab tertularnya ASF dari babi ternak ke babi hutan di TNBNW. Beberapa dugaan yang didapat pihak Balai TNBNW, seperti babi domestik terpapar ASF mati dalam perjalanan masuk ke Sulut. Lalu dibuang ke sungai di Bolaang Mongondow Selatan, dan sungai mengalir membawa patogen ASF dan terkena ke babi hutan di TNBNW.
“Pemburu satwa liar turut menjadi biang keladi pembawa virus ASF di TNBNW,” jelas Anis.
TNBNW kini menerapkan biosecurity, yakni melakukan pengamanan bangkai mati agar tidak menular ke satwa liar lain. Dengan cara bangkai babi hutan dikubur, lalu menyemprotkan disinfektan.
“Tim Patroli selalu membawa APD (alat pelindung diri) dan desinfektan, agar ketika menemukan bangkai babi hutan langsung menerapkan biosecurity,” terangnya.
Pihak tak menutup mata bahwa TNBNW masih ada perburuan satwa liar, penebangan pohon, hingga penambangan emas liar. Menurut Anis fungsi utama taman nasional berupa hutan dan ekosistem didalamnya, hadir untuk warisan ke generasi berikutnya. Jika salah satu keanekaragaman hayati punah, maka tidak akan tergantikan.
“Tanggung jawab konservasi tidak hanya pemerintah. Kami (TNBNW) tidak bisa berjalan sendiri. Harus bergandengan tangan, termasuk dengan masyarakat,” terangnya.
Tiga Kabupaten di Sulawesi Utara berbagi perbatasan langsung dengan TNBNW, dan salah satunya adalah Bolmong. Dari 125 desa penyangga TNBNW, sejumlah besar terletak di wilayah Bolmong. Menariknya, Desa Matayangan bahkan berada di dalam area TNBNW, menjadi salah satu enclave yang memiliki hubungan khusus dengan taman nasional tersebut.
TNBNW memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Selain kehadiran hutan untuk kebutuhan oksigen, aliran sungai dimanfaatkan sebagai sumber air bagi pertanian di Bolmong.
“Mari kita jaga bersama Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang menghidupi kehidupan manusia di dua provinsi ini,” imbaunya.
Penerapan One Health
Jika perburuan, perdagangan, dan konsumsi satwa liar ini tidak diantisipasi, maka di masa yang akan datang dikhawatirkan justru hanya akan menjadi bom waktu kemunculan penyakit menular, yakni zoonosis di Bolmong.
Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Bolmong, Yulin Papuling mengatakan sudah menerapkan one health. Meski begitu, ia tidak merinci apa saja yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bolmong terkait one health.
“Program one health masih berjalan,” katanya didampingi Kepala Bidang pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P).
Menurut Yulin, belum ada kasus zoonosis yang disebabkan oleh satwa liar ke manusia di Bolmong. Namun, ada penularan zoonosis dari hewan peliharaan ke manusia, yaitu kasus rabies yang terjadi di sebuah acara duka di Desa Dumoga Satu, Kecamatan Dumoga, pertengahan Januari 2023. Ketika itu satu orang dikabarkan meninggal dunia.
“Dua orang kena gigitan anjing. Salah satu korban tidak mau divaksin dan meninggal dunia,” terangnya.
Pemerintah Kabupaten Bolmong kemudian melakukan vaksin rabies kepada orang-orang yang ada di acara duka tersebut, karena adanya konsumsi minuman dari gelas yang sama.
“Pasca kejadian, kami vaksin 56 orang yang menghadiri acara tersebut,” ungkap Yulin.
Ia kemudian meminta masyarakat untuk melapor jika mendapati kejadian serupa. Sementara terkait dengan penyakit ASF, Dinas Kesehatan Bolmong menurutnya masih menunggu surat edaran.
“ASF bukan ke kami (Dinas Kesehatan) tetapi ke Dinas Pertanian,” ujarnya lagi.
Veteriner Sulut, drh Louise Kumaunang menjelaskan, zoonosis atau penyakit zoonotik adalah penyakit menular dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Patogen penularan berupa virus, jamur dan parasit, pemburu satwa liar, peternak, memelihara hewan, dokter hewan; termasuk beresiko tinggi, karena kontak langsung.
“Virus yang berada di tubuh manusia, dapat menular ke manusia lain,” jelas Louise.
Ia menjelaskan lagi, mengonsumsi satwa liar juga berpotensi tinggi. Urin atau saliva (air liur) hewan yang terinfeksi, menjadi salah satu medium penularan zoonosis tersebut. Ia juga menyarankan untuk tidak mengonsumsi satwa liar atau hewan peliharaan yang berpotensi zoonosis dan berdampak ke perubahan ekosistem.
Sebagai contoh, katanya, terganggunya ekosistem adalah ketika buah durian di Sulut kini terasa hambar. Hal ini dipengaruhi jumlah kelelawar berkurang. Durian yang enak berasal dari luar Sulut, di mana masih banyak kelelawar.
“Kelelawar di Sulut berkurang karena perburuan. Padahal kelelawar mempunyai peran penting dalam pembuahan durian,” ungkap Louise.
Menurutnya hutan yang beralih fungsi demi kepentingan manusia, berpotensi penyakit zoonotik. Dulunya satwa liar berada di hutan, namun banyak sudah turun ke pemukiman atau pertanian warga.
“Banyaknya penyakit muncul berasal dari perubahan ekosistem. Ulah manusia merugikan manusia itu sendiri, satwa liar, dan alam,” terangnya.
Dijelaskannya lagi, zoonosis paling tinggi di Sulut yakni virus Rabies, di mana monyet, anjing, dan kucing dinyatakan berbahaya. Anjing dan yaki (monyet hitam Sulawesi) menularkan rabies dari gigitan. Sementara kucing dari cakaran karena kebiasaan menjilat tubuh.
“Target virus rabies adalah otak manusia. Semakin dekat luka gigitan ke otak, semakin cepat menunjukkan gejala. 100 persen virus rabies mematikan, 100 persen dapat disembuhkan asalkan mendapatkan penanganan tepat,” terang dokter hewan Pemkab Minahasa ini.
Dari data yang ia miliki menyebutkan, sejak Januari sampai September 2023, setidaknya 18 orang meninggal di Sulut karena rabies. Jumlah ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yang mencapai 12 orang meninggal.
Menurut Louise perlu adanya program one health, yang merupakan suatu upaya pendekatan lintas sektor. Banyak sektor akan terkait dalam pencegahan dan penanganan penyakit infeksi baru atau berulang.
Program Manager Animal Friends Manado Indonesia (AFMI) Frank Delano Manus, meneliti tentang pengangkutan hewan-hewan termasuk satwa liar ke pasar. Berbagai hewan tersebut diangkut menggunakan mobil secara bersama-sama.
“Tidak mungkin transportasi mengangkut hewan sendiri-sendiri. Semua dicampur dalam satu wadah,” katanya, saat ditemui di shelter AFMI, di Lahendong, Kota Tomohon.
Para pengepul dan penjual biasa menyebut daging campur. Semua hewan dalam keadaan mati dijadikan satu, lalu diberi es balok dan garam. Pengamatan Frank, hewan-hewan yang biasa berada di dalam mobil seperti, babi hutan, anjing, kelelawar, ular piton, dan kucing.
“Otomatis seperti mencampur virus. Hewan lain yang sebenarnya tidak ada virus, bakteri dan parasit, menjadi terkontaminasi,” terangnya.
Sementara John Tasirin mengatakan, salah satu akibat mengonsumsi satwa liar adalah mirip penyakit Alzheimer. Alzheimer adalah penyakit otak, berdampak kurangnya daya ingat, perubahan perilaku, dan daya pikir berkurang.
“Mungkin di Sulut dianggap normal, karena faktor umur. Tapi itu adalah penyakit jangka panjang yang sudah banyak literasinya, akibat mengonsumsi satwa liar,” ungkap penyandang gelar PhD ini.
Satwa liar yang menyebabkan penyakit mirip alzheimer adalah kelelawar. Penelitian tersebut berlangsung di salah satu suku di Pulau Hawaii, yang menggemari makan kelelawar.
“Mungkin belum banyak yang mengungkap tentang ini,” ucap John.
Alexandra Tatgyana Suatan dari Indonesia One Health University Network (INDOHUN), menguraikan peran penting one health pada zoonosis. One health adalah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan. Hal itu ia sampaikan saat workshop jurnalis bertajuk “Dapatkah Kita Mencegah Pandemi Berikutnya?” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pada tanggal 10-11 September 2023, di Jakarta.
Menurutnya One Health mengakui bahwa kesehatan manusia, hewan peliharaan, satwa liar, tumbuhan, dan lingkungan yang lebih luas (termasuk ekosistem) saling terkait erat dan saling bergantung. Pendekatan ini memobilisasi berbagai sektor, disiplin ilmu, dan komunitas di berbagai tingkat masyarakat. Kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem saling bergantung dan dipengaruhi oleh perubahan yang cepat. Seperti lingkungan dan iklim, makanan dan pertanian, perilaku manusia dan konstruksi masyarakat, serta ekonomi.
“Semua bekerja sama dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi ancaman terhadap kesehatan dan ekosistem. Sambil mengatasi kebutuhan kolektif akan makanan, air, energi, dan udara yang sehat,” ucap Alexandra.
Tulisan ini bagian dari fellowship “Dapat Kita Mencegah Pandemik Berikutnya?” yang didukung oleh AJI Indonesia.