Baklak.news, BOLSEL— Praktik penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kilo 12 Bukit Mobungayon, Desa Dumagin B, Kecamatan Pinolosian Timur, Bolsel, masih berjalan. Padahal lokasi itu merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Kelompok penambang mengklaim memiliki izin dan mengubah peruntukan lahan tersebut.
Klaim izin peruntukan lahan perhutanan yang dialihfungsikan menjadi lokasi pertambangan ilegal ini, dinilai memiliki ancaman ganda bagi lingkungan.
Selain melanggar aturan, aktivitas PETI dinilai mengancam ekosistem dan masyarakat sekitar. Hal itu diungkapkan Dr Ir Rignolda Djamaluddin MSc.
Menurut Akademisi Universitas Samratulangi (Unsrat) Manado ini, geografi Bolsel merupakan daerah pesisir laut dan memiliki kecuraman kemiringan yang cukup tinggi. Dengan adanya aktivitas pertambangan ilegal, katanya, bisa menciptakan dampak negatif.
“Peruntukan hutan itu sudah jelas. Jangan, sampai aktivitas PETI menciptakan dampak lingkungan yang sangat serius. Adanya kerusakan ekosisten dan pencemaran air. Lebih parah lagi, ancaman bencana karena rusaknya wilayah hutan. Pasti infrastruktur, akses jalan dan bahkan pemukiman warga akan terdampak bencana,” tegasnya, Selasa, 15 Oktober 2024.
Ia meminta pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera bertindak tegas. “Masalah ini harus segera ditangani, jangan tunggu dampak bencana baru bertidak,” kata dosen Unsrat yang akrab disapa Mner Oda ini.
Terpisah, Rahmat Korompot, Kepala Seksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (PKSDAE) di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit 2 Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, mengungkapkan keprihatinan yang sama atas isu tersebut.
Menurutnya, kawasan yang saat ini diklaim kelompok Kunu Makalalag CS merupakan kawasan HPT.
“Kami tidak pernah memberikan izin kepada kelompok Kunu Makalalag CS atau siapa pun, untuk melakukan penambangan di lahan ini,” tegas Rahmat.
Menurut Rahmat, saat ini PT JRBM yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), yang dikeluarkan langsung oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
“Izin ini tidak berlaku untuk kelompok yang melakukan aktivitas PETI. Mereka beroperasi di luar hukum,” ungkapnya.
Dikatakannya, kekhawatiran tidak hanya muncul dari sisi hukum, tetapi juga dari dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Dengan semakin banyaknya lokasi yang dialihfungsikan untuk penambangan ilegal, risiko kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan semakin meningkat.
“Saat kami melakukan pengawasan, banyak lahan yang sudah tidak bisa dipertahankan sebagai area pertanian atau perkebunan. Hutan yang seharusnya menjadi tempat kehidupan kini terancam oleh aktivitas ilegal,” kata Rahmat.
Kenyataan di lapangan, katanya, menunjukkan bahwa hutan yang seharusnya dilindungi kini beralih fungsi menjadi lokasi penambangan ilegal. “Saat PT JRBM masuk, yang ditemukan di lapangan bukan lagi lahan pertanian atau perkebunan, melainkan bekas-bekas aktivitas PETI yang diduga dilakukan oleh cukong,” ujarnya.
Di sisi lain, Rahmat juga menyoroti masalah ganti rugi tanaman yang menjadi polemik di kalangan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ganti rugi merupakan wewenang PT JRBM.
“Ganti rugi wewenang perusahaan yang diatur dalam undang-undang. Namun, yang harus diganti rugi oleh pihak PT JRBM sudah tidak ada, karena tanamannya telah dirusak oleh aktivitas PETI,” kata Rahmat.
Terkait bukti Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dipegang oleh Kunu Makalalag CS, katanya, bukti tersebut dianggap lemah di mata hukum.
“Kami menegaskan bahwa kawasan ini adalah hutan, dan semua pihak, baik masyarakat maupun perusahaan, harus mematuhi ketentuan izin dari Dinas Kehutanan,” tegas Rahmat.
Tanah HPT: Legalitas dan Pengelolaan oleh Masyarakat
Tanah Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dikuasai oleh masyarakat penggarap perkebunan semakin banyak ditemukan di daerah dengan potensi pertanian, termasuk perkebunan cengkeh. Masyarakat lokal sering kali memanfaatkan lahan HPT untuk pertanian dan perkebunan.
Namun, legalitas penguasaan lahan tersebut tetap menjadi perdebatan, karena HPT adalah milik negara dan fungsinya diatur untuk kepentingan hutan produksi.
Menurut ahli dalam bidang pengelolaan hutan Rahmat Korompot, HPT adalah tanah yang dikelola oleh negara untuk keperluan produksi kehutanan dan memiliki fungsi sebagai kawasan hutan yang harus dipertahankan.
Sehingga, tanah HPT tidak dapat diterbitkan sertifikat hak milik, mengingat statusnya sebagai tanah negara yang diatur dalam Undang-Undang Kehutanan. “Tanah ini tidak dapat dialihfungsikan atau dijadikan milik pribadi melalui penerbitan sertifikat,” jelas Rahmat.
Meskipun ada batasan dalam kepemilikan, pemerintah memberikan beberapa mekanisme pengelolaan lahan HPT, yang melibatkan masyarakat melalui program Perhutanan Sosial. Program ini bertujuan untuk memberikan akses kepada masyarakat agar dapat memanfaatkan lahan hutan, termasuk HPT, dalam bentuk izin pengelolaan sementara.
Beberapa jenis izin tersebut antara lain pertama, Izin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM), yang memungkinkan masyarakat mengelola hutan untuk kepentingan mereka sendiri.
Kedua, Izin Pengelolaan Hutan Desa (HD), yang memberikan hak kepada desa untuk mengelola hutan yang berada di wilayahnya. Dan ketiga Izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yang memfasilitasi masyarakat untuk menanam dan mengelola hutan dengan tanaman pilihan mereka.
Meskipun masyarakat diberikan akses untuk menggarap atau memanfaatkan lahan melalui program-program tersebut, Rahmat menekankan bahwa kepemilikan lahan tetap ada di tangan negara dan bukan dalam bentuk sertifikat hak milik.
“Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa pengelolaan lahan HPT harus dilakukan dengan mematuhi peraturan yang ada, untuk melindungi fungsi ekosistem hutan,” imbuhnya.
Dengan adanya program-program ini, diharapkan masyarakat dapat berkontribusi pada pengelolaan hutan secara berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa mengabaikan tanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Klaim Kunu Makalalag
Kunu Makalalag mengatakan, orang tuanya sudah lama berkebun di Kilo 12. Ia pun mengaku mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT). “Kami mendukung penuh aktivitas perusahaan PT JRBM. Tapi, tunaikan dulu hak kami ganti rugi tanaman kami,” pintanya, saat diwawancarai pada Rabu, 25 September 2024.
Menurutnya, pihaknya hanya dijanjikan oleh pihak perusahaan PT JRBM. “Dua belas kali saya menerima undangan dari pihak JRBM dan Pemda, namun tidak ada kejelasannya sampai saat ini,” terangnya.
Bahkan ia memiliki beberapa dokumen pendukung terkait persoalan ini. “Di antaranya ada berita acara pembayaran kompensasi tanaman di wilayah tersebut sesuai dengan aturannya,” kata Kunu. (*)