Baklak.news— Usianya baru 11 bulan. Rambutnya tampak jarang, belum subur benar. Sepasang anting emas mungil menggantung di kedua cuping telinganya.
Namanya Mikhayla Al Mahirah Az Zahra alias Khayla, anak perempuan pasangan Nirun Helingo (48) dan Lily Tulen (37), warga Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Sabtu (9/9/2017), rumah pasangan Nirun dan Lily tampak ramai. Sebuah panggung lengkap dengan hiasan bak pelaminan berdiri di bagian depan rumah mereka.
Keluarga itu sedang menggelar hajatan untuk Khayla. Hajatan termaksud adalah Mopolihu lo Limu dan Molubingo (sering ditulis Mongubingo), rangkaian tradisi khas Gorontalo yang dilakukan sebelum anak perempuan menginjak usia dua tahun.
“Mopolihu lo Limu itu mandi air ramuan limau purut, orang sini biasa bilang mandi lemon. Untuk khitanan, biasa disebut cubi kodo (mencubit vagina), atau istilahnya Molubingo,” kata ibu Khayla, Lily, perihal seremoni adat yang bakal dijalani anaknya.
Rangkaian seremoni dipimpin seorang bidan kampung atau dalam Bahasa Gorontalo disebut Hulango.
Selama proses Mopolihu lo Limu, Khayla kerap tersenyum seolah menikmati tiap guyuran air ramuan dari Hulango. Lepas itu, Khayla didandani mengenakan pakaian adat Gorontalo guna mengikuti seremoni lanjutan, sekaligus jadi tontonan famili dan undangan.
Boleh jadi karena lelah, Khayla tertidur sebelum upacara Molubingo terlaksana. Tangisnya baru terdengar kala dibangunkan Lily jelang Molubingo.
Sambil menenangkan Khayla, Lily menggendong dan membawa anaknya itu masuk ke sebuah bilik di rumah mereka. Sang Hulango menyusul di belakang keduanya.
Di dalam kamar, Khayla dibaringkan di pangkuan Lily. Di hadapan mereka, Hulango duduk sambil menyanyikan senandung penenang bayi kepada Khayla yang belum berhenti menangis. Pun, di antara jari Hulango telah terselip satu pisau kecil seukuran pinset.
Tak berapa lama, seorang perempuan datang membawa kain tudung berwarna putih, yang langsung dipakai menutupi Hulango, Khayla, dan Lily. Momen berbungkus tudung berlangsung lekas, tak sampai hitungan menit.
Ritual Molubingo selesai ketika Hulango menyingkap tudung. Sejumlah famili yang ada di dalam kamar menyambutnya dengan seru riang, beberapa yang lain mengucap hamdalah.
Tiada yang tahu persis kejadian di dalam tudung selain Lily dan Hulango. Sedang Khayla hanya punya kesadaran terbatas. Saat seremoni tersebut berlangsung, Khayla hanya sempat menjulurkan tangan keluar tudung, jari-jarinya menegang, dan suara tangisnya meninggi.
“Sebenarnya, saya juga khawatir, tapi tidak sampai dilukai. Hanya diambil sedikit selaput di klitoris,” kata Lily, lepas upacara Molubingo. “Ini juga sudah bagian dari adat istiadat Gorontalo yang harus dilaksanakan.”
Lily mengaku, momen ini merupakan upacara Molubingo kedua baginya sebagai seorang ibu. Sekitar sepuluh tahun silam, ia pernah melaksanakan seremoni serupa untuk kakak Khayla–kini duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia mengklaim, dalam dua seremoni itu tiada masalah serius terjadi.
Merujuk data Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), hampir separuh anak perempuan Indonesia pernah melewati praktik sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasi FGM sebagai, “Seluruh prosedur penghilangan bagian genital perempuan baik secara keseluruhan atau sebagian pada bagian luar kelamin, atau melukai organ kelamin perempuan untuk alasan non medis.”
Secara umum, ada dua model sunat perempuan di Indonesia. Pertama, model simbolis, yang sekadar menyentuh atau mengorek bagian genital–tanpa melukai. Kedua, model mutilasi sebagian atau seluruh organ genital dengan menggunakan benda tajam–bisa pula sekadar melukai dengan jarum.
Lewat kacamata di muka, tradisi Molubingo di Gorontalo bisa masuk kategori FGM. Pun, Riset Kesehatan Dasar (2013) menempatkan Gorontalo sebagai provinsi dengan tingkat FGM tertinggi di Indonesia. Riset yang diselenggarakan PBB itu menemukan 83,7 persen anak perempuan (0-11 tahun) di Gorontalo telah melewati praktik FGM.
Praktik FGM, menurut UNICEF, merupakan pelanggaran terhadap hak anak serta menyalahi pelbagai perjanjian internasional–termasuk Konvensi Hak-hak Anak. Praktik ini juga berbahaya karena bisa menyebabkan pendarahan, infeksi, cacat, gangguan saluran kencing, hingga masalah seksualitas.
Pada 2006, Kementerian Kesehatan melarang petugas kesehatan melakukan sunat perempuan. Namun, ikhtiar tersebut bersemuka penentangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan dalil sunat perempuan bertujuan makrumah (baca: memuliakan perempuan).
Pemerintah pun melunak. Sunat perempuan kembali diizinkan dengan batasan tertentu, yang termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/2010.
Belakangan, aturan itu dicabut lewat terbitnya Permenkes Nomor 6/2014, yang menegaskan sunat perempuan bukan tindakan kedokteran. Permenkes anyar itu juga memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk membuat pedoman sunat perempuan yang aman.
Adapun Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Gorontalo, dr. Nur Albar (57), mengakui pihaknya tak melarang praktik sunat anak perempuan di Gorontalo.
“Itu ranah lembaga adat. Dinas kesehatan tidak turut campur, apalagi melarang,” kata Nur, saat bertemu Beritagar.id di Kantor Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Gorontalo, Selasa (12/9/2017).
Nur beralasan, sejauh ini belum ada riset mendalam tentang metode sunat anak perempuan di Gorontalo.
“Apakah itu melukai atau hanya mengusap. Sejauh ini, yang diketahui hanya menghilangkan selaput tipis pada klitoris di vagina,” katanya. “Juga belum ada kasus pendarahan serius yang terjadi.”
Meski demikian, kata Nur, pihaknya sudah berencana menggelar konseling ke rumah-rumah ibu yang baru melahirkan.
“Pada kunjungan, bidan-bidan akan menyampaikan agar sunat anak perempuan diawasi, jangan melukai kemaluan anak, jangan sampai infeksi,” kata dokter ahli penyakit dalam itu.
Bayi berusia 11 bulan menjalani prosesi menginjak piring yang jadi bagian dari Molubingo atau sunat anak perempuan, di Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Sabtu (9/9/2017).
Beritagar.id bertemu seorang perempuan asli Gorontalo, Rizki Mardianti Bungi (26), di sebuah warung kopi di Gorontalo, Minggu malam (10/9/2017). Perempuan berjilbab nan karib disapa Kiky itu memberi testimoni sebagai individu yang pernah menjalani sunat perempuan.
Kiky mengaku sering merasa sakit di bagian kelamin ketika masa datang bulan. “Rasanya seperti mau copot,” keluhnya.
Ia bilang, pernah menceritakan pengalamannya kepada beberapa teman sesama perempuan Gorontalo dan mendapat pengakuan senada. Sebaliknya, cerita berbeda didengarnya kala berbincang dengan perempuan non-Gorontalo.
“Waktu tinggal di Jakarta, tahun 2016, saya tanya teman-teman non-Gorontalo. Katanya kalau haid, sakit hanya di perut. Bukan di kemaluan,” ujar Kiky, yang kini berprofesi sebagai karyawan swasta di Gorontalo.
Kiky juga mengaku mengalami gangguan ketika berhubungan seks. “Ini jujur ya, saya sulit mencapai klimaks,” ujar orang tua tunggal beranak satu itu. Keanehan lain terjadi saat buang air kecil, sebab semburan urinnya miring ke kiri.
Ia pun menduga serangkaian masalah tak lazim itu berkelindan dengan praktik sunat perempuan semasa kecil. “Mau konsultasi ke dokter. Biar tahu apakah memang karena itu (sunat),” katanya.
Pengalaman tak lazim seperti yang menimpa Kiky, tak lantas terjadi pada semua perempuan Gorontalo yang melewati proses khitan.
Pengakuan berbeda datang dari Atay Hala (32), aktivis Women Institute for Research and Empowerment of Gorontalo (WIRE-G)–organisasi nonpemerintah di Gorontalo yang berfokus pada isu perempuan.
Atay mengaku tidak punya masalah berkenaan sunat perempuan yang dilewatinya semasa kecil. “Setelah remaja, memasuki masa haid biasa saja. Setelah menikah, tidak ada pengalaman mengganggu,” katanya, kepada Beritagar.id, Kamis (14/9/2017).
Atay, yang menikah pada 2012, mengaku pernah pula menggelar Molubingo untuk anaknya. “Sempat khawatir. Saya tanya Hulango, apakah kemaluan anak saya sampai terluka dan berdarah? Ternyata aman-aman saja.”
Guna beroleh konteks tradisi Molubingo, Beritagar.id berjumpa Alim S. Niode (53), seorang pakar adat Gorontalo. Tokoh yang berstatus Kepala Kantor Ombudsman Republik Indonesia (RI) perwakilan Provinsi Gorontalo itu pernah menulis empat buku tentang adat dan budaya Gorontalo.
Alim mengklaim Molubingo sebagai tradisi yang sejalan dengan Islam. “Molubingo adat berdasarkan hukum agama,” kata Alim, yang ditemui di Kantor Ombudsman Republik Indonesia (RI) perwakilan Provinsi Gorontalo, Rabu (13/9/2017).
Menurutnya, filosofi tradisi Molubingo berkelindan dengan keutamaan Thaharah (bersuci) dalam Islam. Molubingo, katanya, merupakan pembersihan atas bagian kelamin anak perempuan, yang terangkai dengan seremoni penyucian–misal, siraman air limau purut.
Konon, Molubingo telah eksis di Gorontalo sebelum Islam masuk (1525 Masehi). “Setelah Islam masuk, terjadi asimilasi budaya sehingga disatukan,” ujar Alim.
Alhasil, tradisi Molubingo hanya berlaku untuk penganut Islam saja. Meski begitu, seorang perempuan mualaf–misal, karena menikah dengan lelaki Muslim–harus pula melewatinya.
Alim berpandangan, tradisi Molubingo harus dipertahankan sebagai kekhasan Gorontalo. “Kan, tidak melanggar hukum? Ketika disunat, hanya dibersihkan selaput pada klitoris. Harapannya kelak perempuan bisa mengendalikan hasrat seksual atau libido,” katanya.
Pandangan tersebut bersimpang dengan kacamata para pegiat isu perempuan, seperti Nong Darol Mahmada.
Aktivis yang berbasis di Jakarta itu menyebut sunat tak bermanfaat bagi perempuan. “Kalau untuk laki-laki alasannya kesehatan, tapi kalau untuk perempuan enggak ada,” kata Nong, yang dihubungi Beritagar.id lewat telepon, Kamis (28/9/2017).
Nong mengaku pernah melewati praktik sunat perempuan secara simbolis pada usia sembilan tahun. “Meskipun simbolis, menimbulkan trauma. Apalagi kalau dimutilasi, bukan hanya trauma fisik, bahkan psikis, pendarahan, dan lain-lain,” ujarnya.
Ia juga mendebat dalil agama yang dipakai membenarkan praktik ini. “Hadis yang dirujuk enggak kuat. Dalam Alquran enggak ada. Itu tradisi jahiliyah yang merendahkan kaum perempuan,” kata tokoh yang namanya terkatrol lewat Jaringan Islam Liberal (JIL) itu.
Perihal pandangan yang menyebut perempuan tanpa sunat tak bisa mengontrol libido, Nong menganggapnya sebagai cara berpikir “patriarkis dan male-egoist”.
Ia pun mendesak agar praktik sunat perempuan dihentikan. “Dalam sebuah budaya, biasanya ada penjelasan tentang manfaatnya. Dalam konteks sunat perempuan, saya belum melihat ada penjelasan,” ujarnya. (*)
Sumber: Laporan ini diambil dari Beritagar.id: https://beritagar.id/artikel-amp/laporan-khas/sunat-perempuan-di-gorontalo-bersimpang-tradisi-dan-risiko.