BAKLAK, NEWS – Sebuah salon kecantikan tampak penuh, pada Jumat siang awal Mei 2022 lalu. Tiga penata rambut sibuk menangani masing-masing pelanggan yang duduk sejajar.
Salon kecantikan di Kota Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara itu, diberi nama Richie Salon. Sesuai dengan nama pemiliknya, Richie. Ia adalah transpuan. Dua orang bekerja terdiri dari seorang perempuan dan satunya lagi transpuan.
Letak salon cukup strategis karena berada di jantung kota dan di tepi jalan raya. Meski mengontrak bangunan selama dua tahun sejak akhir 2020, pelanggan tetap ramai dan terus memakai jasanya.
“Saya lahir dan besar di Kotamobagu,” kata Richie berusia 30-an.
Ia mengaku sedari bocah gemar boneka dan enggan bermain seperti kebanyakan anak laki-laki sebaya. Setelah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), transpuan berambut pendek ini mulai mengenal lebih mendalam tentang pribadinya, lewat seorang transpuan lain yang dipanggil kakak.
“Kakak yang membimbing dengan memberikan pengetahuan tentang diri saya, memberikan buku,” katanya.
Saat di usia remaja, keluarga dari mulai ayah, ibu, dan kakak laki-laki tidak suka dengan hal tersebut. Hanya Sang ibu yang seiring waktu mulai memaklumi.
“Hanya ibu yang mulai mengerti dengan apa yang saya rasakan,” kisahnya.
Sewaktu ia masih Sekolah Menengah Pertama (SMP), ibunya pernah mempercayakan untuk memangkas rambut tetangga mereka sembari diawasi, di salon kecantikan milik ibunya. Salon itu berada di kompleks Pasar Serasi Kotamobagu.
Keahlian Richie dalam menata rambut dan merias itu turun dari ibu. Sejak medio 1980-an, ibunya sudah membuka usaha salon kecantikan tersebut.
Barulah setelah lulus SMA pada 2001, ia memutuskan hidup mandiri dan keluar dari rumah lalu membuka salon kecantikan sendiri. Bahkan Richie mengaku bahwa orang-orang sering mencibir, karena profesi salon kecantikan tidak cocok untuk laki-laki sepertinya.
“Mana yang lebih baik, saya hanya makan dan tidur di rumah atau saya bekerja seperti ini? [membuka salon],” katanya.
Sambil berwirausaha, ia tetap berpikir untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi pada 2002 di STMIK Multicom Bolaang Mongondow, di Kotamobagu. Gelar D3 didapatnya melalui Jurusan Komputer Akuntansi.
Lulus dari sana, Richie berkeinginan lagi menimba ilmu di Akademi Keperawatan (Akper) di daerah Minahasa Utara. Namun Richie menyadari bahwa bidang yang harus digeluti adalah berbisnis salon, karena itu keahliannya.
“Kalau bekerja sesuai dengan hobi, lelah pun tidak akan terasa,” ungkapnya.
Perjalanan Richie salon di bidang kecantikan yang dibuka sejak 2001 memang tidak berjalan mulus. Berkali-kali berpindah tempat. Tetapi usaha yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, diyakini akan membuahkan hasil. Beberapa kawan Richie sesama transpuan yang diajak bekerja, bahkan ada yang telah mandiri dan membuka usaha salon kecantikan sendiri.
“Akhirnya orang-orang yang dulu pernah mencibir, bahkan sekarang ada yang sering datang meminjam uang,” katanya.
Richie pernah mengikuti ajang pemilihan Miss Waria 2012 di Kotamobagu. Ia terpilih sebagai pemenang. Dari sana pula, namanya semakin dikenal. Salon dikelola yang sekarang juga ramai dengan para pelanggan.
Kesuksesan itu tidak membuatnya lupa untuk bersyukur kepada Allah SWT. Ia bahkan sering mengikuti pengajian di Kotamobagu, bersama beberapa teman transpuan lain.
“Saya mualaf,” katanya, seraya menyebutkan bahwa perihal kenapa ia pindah keyakinan ini, tak ingin dibahas lebih jauh.
Kota Kotamobagu mayoritas beragama Islam. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kotamobagu, pemeluk agama Islam berjumlah lebih dari 90.474 jiwa pada 2016. Transpuan masuk di dalamnya.
Informasi yang didapat, transpuan di Kecamatan Kotamobagu Selatan juga membuat kegiatan pengajian bersama. Mereka belajar dari dasar ejaan huruf Arab sampai dapat membaca Al-Quran, yang dilakukan secara tertutup dan didamping seorang ustaz. Hal itu berlangsung sebelum pandemi Covid-19.
Saat ingin diwawancarai, pencetus kegiatan itu tidak bersedia. Jawaban yang sama didapat Baklak.news saat menghubungi sahabat dekat dari pencetus kegiatan, yang juga sesama transpuan.
“Dia tidak siap,” singkat transpuan yang enggan menyebutkan nama, lewat pesan singkat, awal Mei 2022 lalu.
Sementara itu, Richie mengungkapkan pernah belajar membaca Al-Quran secara privat kepada seorang guru mengaji. Akan tetapi menurutnya, mengaji dengan sesama teman transpuan akan lebih baik.
Dalam menjalankan salat, Richie memilih tidak memakai mukena meski penampilan sehari-hari seperti perempuan. Ia juga tetap berada di deretan laki-laki dalam menjalankan ibadah.
“Saya tetap menggunakan sarung,” ujarnya.
Satu hal yang ingin ia tegaskan pula, yakni agar teman-teman transpuan lain di Kotamobagu, juga harus terus berusaha untuk bisa mandiri. Karena itu adalah salah satu pembuktian, dan hal yang bisa menangkis apa saja stigma buruk tentang mereka.
“Apalagi hampir 80 persen para transpuan di Kotamobagu menggeluti dunia salon kecantikan,” katanya.
Dari data di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) Kotamobagu, ada 17 usaha terkait salon kecantikan dan sejenis telah mengurus izin sampai pertengahan 2022. Izin yang dikeluarkan meliputi jasa salon kecantikan, barbershop, dan SPA.
Diskriminasi Sering Muncul Pertama Kali di Lingkungan Keluarga
Perlakuan diskriminasi terhadap transpuan kebanyakan terjadi di lingkungan keluarga. Transpuan dianggap sebagai beban keluarga. Hal ini diungkapkan Aiman (50).
“Transpuan sudah mendapatkan perlakuan tidak wajar dari rumah. Kita jangan berbicara terlalu jauh, dari rumah dulu,” katanya, saat ditemui di sebuah kafe di Kotamobagu, akhir Juli 2022.
Bunda Aiman, sapaan akrabnya, mengisahkan pengalaman dan hasil pengamatan terhadap apa saja yang dialami transpuan lainnya di Kotamobagu. Tekanan kepada transpuan datang dari keluarga, pertama kali didapat saat tingkah laku mereka terlihat feminim.
“Keluarga menilai transpuan tidak sama dengan lain. Saya merasakannya,” jelas lulusan IKIP Manado ini.
Dari diskriminasi di lingkungan keluarga inilah, kemudian para transpuan memilih tidak akan terbuka kepada masyarakat sekitar. Mereka menjadi krisis percaya diri.
“Kebanyakan transpuan akan keluar dari rumah, dan mencari tempat yang menerima dirinya,” kata Bunda Aiman, yang mengaku pernah belajar ilmu psikologi dari kampusnya.
Bunda Aiman mengatakan, ia juga kerap mendapatkan perundungan di dalam keluarga.
Dengan ada perlakuan itu, dari lubuk hati ia berjanji akan membalas dengan menjadi pribadi yang lebih baik, dan ingin mengangkat derajat keluarga. Hal itu dibuktikannya, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bolaang Mongondow.
“Selain saya, rata-rata transpuan di Kotamobagu menjadi tulang punggung bagi keluarga,” ujarnya.
Ia bertutur, ketika pertama kali mencari jati diri, kerap kali dilanda kebingungan. Pada akhirnya, ia memilih berdamai dengan diri.
“Saya berpikir, kenapa menyiksa diri harus sama pandangan dengan orang lain? Biarlah ini menjadi urusan saya dengan Tuhan.”
Menjadi transpuan bukanlah sebuah pilihan. Sebab jiwa raga yang berbeda, dibawa sejak lahir dan setiap orang tidak bisa memilih sejak dari dalam kandungan.
“Ilmu pengetahuan kedokteran juga sudah melakukan penelitian yang panjang dan luar biasa tentang transpuan. Tapi tidak bisa mengubah semua pandangan masyarakat,” kata penghobi tanaman hias ini.
Menangani transpuan, menurut Bunda Aiman harus dilakukan sejak dini. Keluarga dan lingkungan harus diberi pemahaman tentang kondisi transpuan sedari anak.
“Kekurangan pengetahuan membuat orang tua malu memiliki anak transpuan, ini merupakan bentuk perundungan psikis terhadap anak.” ungkap Ketua Forum Kerukunan Waria Totabuan ini.
Selain itu, selama ini pemerintah hanya mendengar suara mayoritas, dan tidak pernah turun sampai ke bawah. Hanya sejumlah Non-Governmental Organization (NGO) yang menaruh perhatian lebih terkait masalah transpuan.
“Yang selama terlihat hanya NGO, tetapi dari pemerintah belum bisa berbuat banyak,” pandangan Bunda Aiman.
Transpuan juga memiliki kreativitas dan dapat menaikkan taraf ekonomi, yang berdampak terbuka lapangan kerja. Hanya saja pemerintah tidak pernah memberi mereka panggung akibat terkendala beberapa faktor. Salah satunya, ketika pemerintah akan membantu transpuan, akan ada kelompok yang kontra dengan tuduhan bahwa pemerintah hendak melegalkan LGBTQ.
“Pemerintah sebenarnya bukan ingin melegalkan, tapi memberikan hak-hak yang sama kepada semua. Hanya saja ada sentimen lebih besar,” terang Bunda Aiman.
Untuk itu, ia sering bertanya kepada dirinya sendiri, apakah dengan pencapaiannya saat ini dan ketika ia memilih menjadi transpuan, akankah ia bahagia?
“Tidak, karena transpuan juga ingin memiliki pasangan hidup seperti orang lainnya. Namun norma agama di Indonesia [tidak sejalan] dan [hanya] sedikit orang yang menyukai transpuan, ini yang menjadi kendala.”
Ia bahkan memiliki mimpi, ingin menghabiskan masa tuanya di luar negeri, karena orang-orang di sana sudah jauh melampaui pemahaman tentang keberagaman gender.
“Saya ingin sekali tinggal di Eropa, apalagi saya pernah ke sana,” tuturnya.
Sama dengan Richie, Bunda Aiman tetap melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Salat tetap dilaksanakan dengan memakai sarung atau gamis pria. Ia juga aktif dalam kegiatan keagamaan berkelompok yang ada di Kotamobagu.
“Agama menjadi sumber kekuatan saya untuk menjalani hidup ini,” tuturnya.
Sikap Pemerintah Kota Kotamobagu
Kotamobagu adalah salah satu kota di Provinsi Sulawesi Utara, terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007. Kota yang mayoritas bersuku Mongondow ini berpenduduk 125.835 jiwa dari hasil registrasi pada 2018. Jumlah itu terdiri dari 63.976 jiwa laki-laki dan perempuan 61.859 jiwa.
Dinas Sosial (Dinsos) Kota Kotamobagu menyebutkan pernah memberikan bantuan bagi kelompok minoritas pada 2017. Namun, bantuan itu tidak sampai menyentuh para transpuan.
Kepala Bidang Ketenagakerjaan dan Fakir Miskin, Dinsos Kotamobagu, Irawan Damopolii menjelaskan bantuan itu berasal dari Pemerintah Provinsi Sulut lewat program Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (L3K).
“Bantuan diberikan kepada wanita pekerja seks, untuk waria (transpuan –red) belum ada,” jelas Damopolii, saat ditemui di kantor Dinsos Kotamobagu, Rabu, 27 Juli 2022.
Sasaran bantuan untuk pekerja seks adalah modal kerja untuk membuka usaha. Untuk ke depan, kata dia, bantuan terhadap transpuan kemungkinan besar tidak akan ada. Lantaran nama harus masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Itulah dia (transpuan) terkendala DTKS itu,” ujar Damopolii.
Hal ini juga terbentur surat edaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor 11 April 2020. Isinya, penerima Bantuan Sosial (Bansos) harus terdaftar Bantuan Dana Sembako (BDS) Kementerian Sosial.
“Penerima Bansos Kementerian Sosial harus ada data dari BDS. Kalau pun penerima Bansos belum terdaftar atau masih berproses, harus ada dukungan dari lurah. Itu juga nama penerima bantuan sudah ada, sejak disurvei sejak tiga bulan sebelumnya,” jelasnya.
Pemerintah Kota Kotamobagu sendiri menyampaikan, sejauh ini belum ada bantuan yang dapat diberikan kepada transpuan. Disebabkan imbas dari pandemi Covid-19.
“Bantuan belum bisa dianggarkan karena situasi sulit saat ini, berdampak [pada] Pemerintah Pusat sampai daerah,” ungkap Damopolii.
Diskriminasi dihadapi transpuan di Indonesia
Transpuan mempunyai hak untuk menerima bantuan. Sebagaimana dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) RI 08 Tahun 2012. Permensos itu berisi, transpuan masuk Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) dari kelompok minoritas.
Khanis Suvianita, seorang peneliti dan akademisi mengatakan peran transpuan tak lepas dari perputaran roda ekonomi di daerah. Karena banyak bekerja di bidang jasa, di antaranya perias pengantin, penyelenggara pernikahan, entertainment, dan lain-lain. Selain membuka lapangan kerja, juga menghidupi sektor lain yang berhubungan dengan pekerjaan transpuan.
“Lewat posisi dan kapasitas pekerjaan mereka [transpuan] sebenarnya mempunyai kontribusi terhadap pembangunan daerah,” ujarnya via telepon, Kamis, 25 Agustus 2022.
“Saat pandemi Covid-19, orang-orang yang bekerja di sektor informal merasakan dampak. Hal sama dirasakan transpuan yang harus kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Salah satu contoh tidak ada pesta pernikahan,” sambungnya.
Suvianita menjelaskan pemikiran hanya ada dua kategori manusia, seperti meniadakan kelompok lain. Pemikiran tersebut menjadikan transpuan terpinggirkan, saat menampakkan dan menampilkan dirinya. Menurut penyandang gelar magister dari International Institute of Social Studies (ISS) di Den Haag-Belanda ini, negara harus hadir dan bertanggung jawab kepada setiap warga, termasuk transpuan.
“Seharusnya aparat negara melihat posisi transpuan sebagai politik, daripada perwakilan negara yang mengayomi seluruh negara. Transpuan akan sangat ketakutan dipolitisir oleh kekuatan-kekuatan besar,” tegasnya.
Sejak dahulu kala transpuan sudah ada jauh sebelum Indonesia Merdeka. Suvianita mengamati masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya memusuhi dengan adanya transpuan.
“Meskipun ada ejekan yang diterima namun tidak sampai sangat membenci,” katanya.
Krisis transpuan terjadi saat dimasukkan dalam golongan LGBT pada 2016. Wacana-wacana muncul menjadikan transpuan kelompok asing, datang dari pemikiran liberal barat. Ditambah anggapan masyarakat buruk terhadap transpuan, karena ada yang berprofesi pekerja seks, atau tertangkap razia saat penertiban aparat.
“Seolah-olah hal negatif menjadi wajah dari seluruh transpuan, kan tidak begitu. Orang suka generalisasi tentang keragaman gender seksualitas, pada suatu kelompok sudah rentan yang minoritas dan lebih didiskriminasi,” terang dosen Psikologi Universitas Surabaya ini.
Dari pengamatannya, diskriminasi dari keluarga sering terjadi. Namun, setelah kuat secara finansial, tak jarang transpuan menjadi tulang punggung bagi keluarga. Lebih ironis, belum ada keluarga berada di depan membela transpuan secara terang-terangan setelah mendapatkan bantuan. Padahal transpuan yang sudah mapan secara ekonomi tidak akan anggota keluarga yang membutuhkan.
“Bagaimana disakiti dan diperlakukan, mereka [transpuan] tahu, bahwa mereka [transpuan] adalah bagian dari keluarga. Mereka menjadi transpuan tidak selalu menyalahkan keluarga, tapi lebih menyalahkan dirinya.”
“Dari penuturan mereka, tidak ingin dilahirkan menjadi transpuan. Tapi juga tidak menolak menjadi transpuan. Dari pada menolak menjadi pria bukan, lebih baik menjadi seperti ini. Itu yang selalu dikatakan mereka [transpuan],” jelas calon doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
***
Liputan ini merupakan bagian dari Program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan The Netherlands Embassy.
Komentar 1