Baklak, News – Sebuah kendaraan roda dua matic putih sampai, di sebuah Kedai Kopi di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut), pada Jumat 7 Oktober 2022 . Pengendaranya seorang perempuan asal Kotamobagu.
Ia sengaja datang memenuhi janji via telpon, dan ingin bertatap muka. Ia ingin berbagi cerita tentang kehidupannya. Perempuan 24 tahun itu, pernah menjadi perempuan malam di Papua.
Bagaimana sampai terjun ke dunia prostitusi?
H -disamarkan,- tumbuh besar dari keluarga sederhana di Kota Kotamobagu. Sedari Sekolah Menengah Pertama (SMP), H pergi sekolah membawa jualan ibunya. Sang Ibu menjual Nasi Kuning. Sementara ayah tirinya buruh serabutan. Nasi kuning yang sudah terbungkus digenggam H setiap pagi ke Sekolah, sementara pundaknya harus memikul tas berisi buku. Hal itu dilakukan sampai tamar Sekolah menengah Atas (SMA).
“Saya dari SMP sampai SMA, menjual kuning, di sekolah untuk menutupi biaya kebutuhan,” katanya, sembari menyeruput pesanan kopi susu hangat.
Malang menimpa H bersama dua adiknya. Di saat H kelas 2 SMA, sang Ibu dipanggil Yang Maha Kuasa. H bersama kedua adiknya masih punya ayah tiri. Tapi mereka memilih tinggal bersama kakek dan nenek, karena menilai ayah tirinya itu tidak bertanggung jawab.
“Kakek dan Nenek kira-kira berusia 50 tahun lebih yang mengurus kami,” ujar perempuan berambut panjang itu.
Rupanya sang Ibu meninggalkan hutang pinjaman. H mengungkap hutang dipinjam demi biayanya masuk SMA, dan keperluan dua adik yang masih Sekolah Dasar (SD). Hutang yang telah yang sudah dicicil selama setahun lebih, kemudian dilanjutkan kakek, nenek dan H.
“Nenek meneruskan usaha ibu menjual nasi kuning, dan saya tetap membawanya ke sekolah. Kakek dan nenek mengandalkan hasil dari warung kecil-kecilan untuk keperluan sehari-hari,” ungkap H.
H juga harus mengeluarkan tenaga tambahan sepulang sekolah. Dengan berjualan jeruk limau, di Pasar Serasi Kota Kotamobagu, tanpa lapak.
“Kalau bisa dibilang hidup saya biasa keras,” kata perempuan bertinggi sekitar 150 cm itu.
Dilansir dari localisesdgs-indonesia.org, Kota Kotamobagu merupakan kota terkecil di Provinsi Sulawesi Utara. Luas wilayah sebesar 108,89 km². Berdasarkan data BPS tahun 2020, jumlah penduduk di Kotamobagu mencapai 123.722 jiwa. Pertumbuhan penduduk antara tahun 2019 dan 2020 tercatat berada di angka 6 persen. Kepadatan penduduk di Kotamobagu sebesar 1.136 jiwa per km2.
Pendapatan Domestik Regional Bruto tercatat pada angka 2,397,215.40 Juta Rupiah dengan pertumbuhan sebesar 0,2 persen di tahun 2020. Dengan kontributor terbesar dari sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, diikuti oleh sektor Perdagangan Besar dan Eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, dan sektor konstruksi.
Terpaksa menerima pekerjaan yang tak disukai
Jerih payah kakek dan nenek sampai pada H lulus SMA. Namun dari lubuk hati H saat itu berusia 19 tahun gelisah, karena dua adiknya masih dibangku SD. Ia pun menanyakan kepada seorang teman perempuan, yang baru pulang bekerja Papua. H tertarik karena melihat temannya itu menghamburkan rupiah berjuta-juta dalam satu malam. Temannya lalu mengajak H ke Papua untuk bekerja. Ajakan itu diiyakan, tanpa berpikir panjang.
“Saya dijanjikan teman saya bekerja di rumah makan,” jelas perempuan berhidung mancung itu.
H bersama satu perempuan lain yang baru dikenal berangkat dari Pelabuhan Samudera Bitung, Sulut pada 2016 silam, menuju pelabuhan Papua. Setelah 3 hari menempuh perjalanan laut, mereka sampai. Mereka berdua dijemput ojek, menuju ke tempat kerja yang dijanjikan. H terkejut karena tempat bekerjanya pada siang hari sepi
.”Saya membawa ijazah SMA karena berjaga-jaga jika diminta pemilik tempat usaha, tapi ternyata tempat itu adalah Pub (Public House),” ujarnya.
H pun akhirnya sadar, bahwa akan bekerja di Pub. Ia diperhadapkan pilihan sulit saat bertemu dengan seorang perempuan pengelola Pub, yang biasa dipanggil Mami. Ia dikejutkan harus menandatangani secarik kertas berisi kontrak kerja dan hutang yang harus dibayar. Hutang meliputi biaya perjalanan dan uang untuk ditinggalkan kepada kakek neneknya, yang tidak pernah diberikan. Selain itu H mempunyai hutang pribadi kepada Mami, untuk keperluan sehari-hari. Perempuan berambut lurus itu, secara terpaksa menandatangani kontrak kerja delapan bulan ditambah kewajiban mengurangi hutang, di atas meterai 6.000.
“Saya ingin lari, tapi tidak tahu akan kemana dan punya uang ataupun keluarga. Akhirnya saya menjalani pekerjaan,” terangnya.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara merilis sedikitnya ada 60 persen pekerja seks komersial (PSK) di daerah Papua adalah perempuan asal Sulut. Hal tersebut diungkapkan Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw dalam Rapat Koordinasi Perlindungan Wanita yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, pada Selasa 14 Agustus 2018, lalu. Selain menjadi korban trafficking, namun banyak pula diantaranya yang dengan sadar dan atas kemauan sendiri melakoni pekerjaan itu. Ironisnya keluarga dan orang tua ‘tutup mata’ dengan alasan ekonomi.
Dari hasil menjadi PSK, perempuan asal Sulut yang dikenal cantik-cantik kebanyakan kulit putih, dapat memperoleh penghasilan besar. Hal ini dapat memenuhi kebutuhan keluarga, dan barang yang diinginkan. Kata Kandouw perempuan-perempuan itu, dapat membeli kebun, mobil, dan sebagainya. Lebih ironi, menurut Wagub, keluarga mendukung, lantaran banyaknya uang yang didapat.
Pekerjaan yang tak seperti dibayangkan
H bekerja melayani tamu yang datang untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Pendapatannya dihitung dari banyaknya botol minuman beralkohol yang dihabiskan para tamu. Ia pun rela tubuhnya digerayangi maupun dicium tamu yang datang. Targetnya, harus menguras kantong para tamu.
“Kadang saya tidak tahu apa yang diperbuat para tamu karena sudah mabuk berat,” kata perempuan penyuka permainan Mobile Legend itu.
Dua bulan kemudian, H menerima gaji pertama sekitar Rp2 juta lebih. Namun pendapatannya harus dipotong hutang kepada Mami. H memperoleh sekitar Rp1,5 juta hanya dari menemani tamu minum.
Dari apa yang dilihat H, jika ingin mendapat uang lebih harus mau diajak tamu untuk tidur bersama.
“Saya lihat ternyata teman-teman yang banyak uang hasil BO (Booking Out) dengan tamu yang datang, atau ada pria menjadikan perempuan simpanan.”
Ia pun dilema lantaran hampir habis kontrak, hanya sedikit yang dikantongi. Apalagi uang yang dikirim untuk biaya kedua adiknya sekitar Rp1 juta perbulan. Sisa gaji dipergunakan untuk biaya hidup di Papua yang terbilang tinggi di Indonesia. Paling banyak H menerima gaji sekitar Rp2,5 juta perbulan. Kurangnya pendapatan dikarenakan H sering menolak BO dari tamu. Keluarga adalah kekuatannya sampai tidak ingin bersetubuh dengan pria lain. “Kakek saya di kampung tokoh agama dan sering ke Masjid,” tutur H.
Bertemu Pria yang menerimanya
Suatu malam, tujuh orang pria datang ke Pub. Ia pun dipilih seorang pria untuk menemani minum bir. Sembari mendengarkan lantunan lagu, H dan pria itu saling tukar cerita. Ketika menjelang subuh, pria itu mengajak H untuk menerima “pekerjaan lain.” Dengan halus H tetap menolak.
“Saat bertemu suami pertama kali, saya tidak ingin diajak untuk menginap di hotel,” ujarnya.
Penolakan itu, membuat pria itu menjadi penasaran. Pria itu mencari cara dengan menyogok Mami agar H, dapat diajak keluar dari Pub. Dengan terpaksa H, menerimanya karena masih terlilit hutang sekitar Rp5 juta kepada Mami.
“Pada waktu itu, suami saya menutup hutang saya kepada Mami, dan uang tambahan karena mengajak keluar perempuan di Pub,” terangnya.
H melayani pria itu walapun dengan keadaan terpaksa. Ia juga tak memikirkan apakah akan tertular penyakit, yang bisa saja didapat dari hubungan seksual. Rupanya pria itu menaruh hati terhadap H yang kemudian berlanjut saling komunikasi via telepon, karena suaminya kala itu bekerja di luar Papua. Selang satu bulan kemudian, H pulang ke Kotamobagu dan dipersunting pria yang pernah menjadi tamunya. H kini mempunyai dua anak dan meneruskan hidup di Kotamobagu dan berhenti bekerja di dunia malam.
“Sebelum menikah, saya menceritakan semuanya kepada suami. Tapi dia menerima dan mendatangi orang tua untuk meminta restu menikahi saya,” tuturnya.
H mengatakan, tak bisa mengajak perempuan yang masih bekerja di dunia malam untuk kembali ke jalan yang benar. Lantaran setiap orang dapat memilih hidupnya. Ia tak bisa menilai karena setiap orang mempunyai alasan masing-masing.”Saya mungkin dari sedikit perempuan yang beruntung, yang dapat keluar dari pekerjaan itu,” tutup H.
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengungkap, adanya peningkatan jumlah kasus Orang dengan HIV AIDS (ODHA) di Provinsi Papua. Dilansir dari Papua.go.id, Peningkatan terjadi terhadap ibu rumah tangga (IRT). Ketua KPA Papua, Drh. Constan Karma menyimpulkan pembawa virus HIV didalam lingkungan keluarga lebih besar diakibatkan oleh para suami. Suami sering membeli seks jalanan, tanpa menggunakan pengaman kondom. Ini Juga dipicu karena pria memiliki kesempata dan uang.
Dari data di lapangan kasus HIV AIDS terbesar di Papua terdapat di Kota Timika. Totalnya telah menembus angka 1067 kasus. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena virus mematikan itu, pada saat ini telah masuk hingga di daerah pedalaman, hingga ke Pegunungan Tengah Papua. Karma meminta para ibu-ibu rumah tangga untuk lebih pro aktif menginformasikan bahaya HIV/AIDS kepada para suaminya.
Karena, dalam situasi seperti ini, para ibu dituntut untuk lebih selektif, agar tidak ikut terjangkit HIV/AIDS yang dapat mengancm kehidupan keluarganya. Tingkat penyebaran HIV/AIDS, terjadi melalui kontak darah, jarum suntik, atau berhubungan seks dengan pasangan yang telah terkena virus mematikan itu.
HIV tidak akan menular melalui ciuman, berjabat tangan, air liur, dan lain-lainnya tanpa melakukan kontak darah dengan pengidap HIV. Pencegahan virus HIV dicegah KPA Papua, dengan cara bimbingan keagaamaan. Pasangan diberi pemahaman sikap saling setia sebagai upaya mempertebal iman kerohanian. Apabila tetap nekat untuk berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, maka jalan satu-satunya dalah penggunaan kondom. Untuk mencegah pembunuhan di dalam lingkungan keluarganya sendiri. (*)