BAKLAK, BOLSEL – Hanafi mulai berjalan menenteng ember di pesisir pantai Tanjung Binerean, Desa Mataindo, Kecamatan Pinolosian Tengah, Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Meski berjalan di terik matahari tak membuat niat pria 47 tahun itu surut. Ada kehidupan yang harus diselamatkan menurut pria berusia 47 tahun itu. Yaitu menyelamatkan kehidupan burung Maleo.
Tiap hari dilakukannya pada pagi dan sore hari tanpa mengenal tanggal merah. Hanafi harus cepat mengambil telur burung Maleo untuk disimpan di tempat lebih aman sampai lebih dari 60 ke depan sampai menetas. Jika tidak telur tersebut menjadi santapan bagi predator seperti biawak, ular, bahkan manusia.
Maleo merupakan burung endemik pulau Sulawesi. Burung bernama ilmiah Macrocephalon maleo, terancam punah. Banyak faktor menjadi penyebabnya selain faktor alami. Maleo hanya setia kepada satu pasangannya hingga akhir hayat. Pembabatan hutan, kebakaran hutan, banjir, dan banyaknya aktifitas manusia di habitat, juga penyumbang terbesar merosotnya jumlah Maleo.
Hanafi menceritakan sekitar tahun 80an, telur Maleo mudah ditemukan di pasir pesisir pantai Bolsel. Ia juga semasa kecil pada tahun itu sering mengambil telur untuk dikonsumsi.
“Ada juga yang mengambil telur untuk dijual ke Kota-kota. Pencari telur Maleo dapat mengumpulkan 40 butir per hari,” kenang pria berumur 47 tahun itu.
Dari pengalaman sejak kecil, Hanafi dengan mudah menemukan lubang berisi telur Maleo. Sepasang Maleo secara bergantian menggali sekitar 5 lubang sedalam 50 cm. Salah satu lubang digunakan Maleo betina bertelur. Sementara lubang lainnya sengaja dibuat Maleo untuk mengelabui predator.
“Maleo sangat sensitif saat bertelur. Keduanya akan bekerja sama dan bergantian. Saat satu burung Maleo menggali, satu lainnya memantau,” jelas Hanafi.
Sebelum bertelur sepasang Maleo berada di dahan pohon untuk mengawasi tempat. Lokasinya pun harus sesuai dengan suhu tertentu. Selain itu, harus di tempat sepi atau tidak ada aktifitas hewan lainnya. Kebanyakan Maleo akan bertelur pada jam 6 sampai 10 pagi dan pukul 3 sampai 5 sore.
“Maleo akan mengawasi tempat berjam-jam. Jika tidak aman Maleo enggan bertelur, bahkan pergi menjauh,” terang Hanafi.
Faktor-faktor manusia juga turut menyumbang perginya Maleo. Seperti kapal-kapal berlayar di dekat bibir pantai, dan pemancing ikan di pesisir. Selain itu sampah-sampah plastik yang dibuang ke laut juga berpengaruh. Lantaran sampah plastik akan memantulkan cahaya matahari, yang membuat Maleo pergi.
“Kami sudah memberikan himbauan. Ada masyarakat sudah paham, tapi ada juga tidak peduli,” keluh ayah dua anak itu.
Hanafi sudah 15 tahun menjaga Maleo. Penyuka makanan ikan gabus itu menjadi staf lapangan di WCS. Ia menjaga kelestarian Tanjung Binerean dan bukit Iparuntu, Bolsel, tempat tinggal satwa liar di luar area konservasi.
Peneliti berbagai negara silih bergantian melakukan penelitian peneluran alami Maleo di Tanjung Binerean. Tak sedikit pula mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia datang menyelesaikan tugas akhirnya. Hanafi mendampingi bahkan menjelaskan perilaku Maleo yang ia telah diamatinya bertahun-tahun.
“Saya hanya bersekolah sampai kelas dua SD (Sekolah Dasar),” tutur Hanafi.
Untuk orang lain, Maleo dan satwa liar lainnya tidak berarti. Namun bagi Hanafi warga Mataindo yang peduli, satwa liar, Balai Koservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut dan mitra kerja, serta Pemkab Bolsel, adalah kekayaan alam Indonesia yang harus dilestarikan.
“Ada yang meremehkan pekerjaan saya, katanya hanya penjaga burung,” kata pria berdarah Bugis-Gorontalo itu dengan tertawa.
Pengabdian Hanafi membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Kabupaten Bolsel memberinya penghargaan. Dari tangannya ribuan telur menetas dari Maleo, penyu, dan hewan lainnya dapat diselamatkan. Sampai kapan ia akan mengabdikan diri? Hanafi dengan tegas menjawab hingga ke tubuhnya tidak mampu lagi berdiri.
“Saya akan terus menjaga sampai masih (tubuh) kuat,” ungkap suami dari Maria itu.